Selasa, 08 Maret 2022

 JURNAL REFLEKSI MINGGU KE-12

PEMBELAJARAN SOSIAL DAN EMOSIONAL

Modul 2.2.A.10.1

 By. Desmauli Lumbanbatu, S.Pd

 

MODEL DISCROLL 

Model ini diadaptasi dari refleksi yang digunakan pada praktik klinis (Driscoll & Teh, 2001).

 Model yang dikenal dengan Model “What?” ini pada dasarnya terdiri dari 3 bagian, namun dapat dikembangkan dengan berbagai variasi bergantung pada pertanyaan detail yang dipilih.

1) WHAT? (Deskripsi dari peristiwa yang terjadi)

2) SO WHAT? (Analisis dari peristiwa yang terjadi)

3) NOW WHAT? (Tindak lanjut dari peristiwa yang terjadi)

 

1.      WHAT 

Minggu ini saya memasuki modul 2.2  tentang Pembelajaran Sosial  dan Emosional yakni pada alur merdeka belajar  Mulai dari Diri dan Eksplorasi Konsep.  Sebelum alur Mulai dari diri, saya kembali mengingat materi modul 1.1 tentang  konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara. Eksplorasi konsep pada modul ini terdiri dari Eksplorasi Konsep secara mandiri dan Eksplorasi Konsep Forum Diskusi, yakni mengenai kasus Bapak Eling dan tentang kompetensi yang dibutuhkan dalam menyelesaian kasus nya.

Pada bagian mulai dari diri CGP diminta membuat refleksi tentang peristiwa yang dialami terkait Emosi-Positif (optimis, senang, cinta, bahagia, takjub, dan sebagainya) dan Emosi-Negatif (marah, sedih, kecewa, menyesal, takut, dan sebagainya)

Ki Hajar Dewantara  menyatakan bahwa pendidikan merupakan daya dan upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh anak agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan anak yang sesuai dengan dunianya. Selaras dengan pemikiran Bapak Ki Hajar Dewantara,  Pembelajaran Sosial dan Emosional berbasis kesadaran penuh adalah upaya untuk  menciptakan ekosistem sekolah yang mendorong  bertumbuhnya budi pekerti, selain aspek intelektual. Melalui Pembelajaran Sosial dan Emosional, murid diajak untuk  menyadari, melihat, mendengarkan, merasakan, serta mengalami  berbagai pengalaman belajar yang dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional. Guru perlu menyadari, mengelola, dan menerapkan pembelajaran sosial dan emosional dalam dirinya. Maka dari itu, hal ini diupayakan agar guru dapat mengembangkan kompetensi sosial dan emosional murid secara optimal melalui suasana belajar serta proses yang sistematik, menyeluruh, dan seimbang guna meningkatkan prestasi akademik siswa.

Pembelajaran Sosial dan Emosional adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuanketerampilan, dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional.

 

Tujuan pembelajaran sosial dan emosional:

1.      memberikan pemahaman, penghayatan, dan kemampuan untuk mengelola emosi (kesadaran diri)

2.      menetapkan dan mencapai tujuan positif (pengelolaan diri)

3.      merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial)

4.      membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan membangun relasi)

5.      membuat keputusan yang bertanggung jawab (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab) 

2.      SO WHAT

Setelah mengikuti pembelajaran ini saya merasa senang karena memperoleh pengetahuan baru tentang pembelajaran sosial dan emosional. Saya merasa tertantang untuk lebih jauh mendalami proses pembelajaran sosial dan emosional dengan belajar sungguh-sungguh serta berdiskusi dengan sesama CGP, fasilitator, dan instruktur. Hal ini juga termasuk bagaimana mengaplikasikan pembelajaran sosial dan emosional di kelas dan lingkungan sekolah.

Menurut saya, Pembelajaran Sosial dan Emosional dapat diterapkan dengan melaksanakan kesadaran penuh (mindfulness) yang bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan atau well-being. Kemudian, Pembelajaran Sosial Emosional (PSE)  berbasis kesadaran penuh dapat melatih daya lenting/resiliensi guru, murid ,dan komunitas sekolah. Berbagai kegiatan berbasis kesadaran penuh (mindfulness) dalam sehari-hari memungkinkan seseorang membangun kesadaran penuh untuk dapat memberikan perhatian secara berkualitas yang didasarkan keterbukaan pikiran, rasa ingin tahu (tanpa menghakimi), dan kebaikan hati (compassion) yang akan membantu seseorang dalam menghadapi situasi-situasi menantang dan sulit. Menurut saya, guru yang rentan stres akan berdampak pada tingkat stres siswa dan stres siswa berdampak pada hasil belajar. Siswa akan belajar lebih baik dalam situasi yang lebih positif secara emosional.






Hubungan antara Mindfulness dengan kompetensi sosial emosional

Pada saat menghadapi kondisi menantang, misalnya saat seorang guru berhadapan dengan perilaku murid yang dinilai tidak disiplin. Mekanisme kerja otak akan mengarahkan diri untuk berhenti, menarik napas panjang, memberikan waktu untuk memahami apa yang dirasakan diri sendiri, apa nilai-nilai diri yang diyakini,  memunculkan empati untuk memahami situasi yang terjadi, serta mencari tahu apa yang dirasakan oleh murid dengan hadir secara penuh.  Guru akan memilih untuk bertanya pada murid tersebut untuk memahami apa yang terjadi. Respon guru yang berkesadaran penuh akan dapat membangun koneksi dan rasa percaya murid. Koneksi, rasa aman, dan rasa percaya di antara guru dan murid akan memperkuat relasi murid dan guru sehingga dapat menciptakan lingkungan dan suasana belajar mengajar yang kondusif serta mendorong guru untuk membuat keputusan yang lebih responsif.

3.     SO WHAT

1.

 N  Hal yang saya akan lakukan setelah pembelajaran ini adalah menerapkan mindfulness (kesadaran penuh) pertama pada diri sendiri sehingga suasana hati saya selalu senang dan bahagia. Well-being yang saya miliki tentunya akan memudahkan saya dalam melaksanakan tugas dengan optimal.  Kemudian, saya juga akan menerapkan mindfulness kepada murid saya. Menurut saya, lingkungan belajar dan suasana belajar yang kondusif akan membantu tumbuhnya kesadaran diri murid tentang perasaan, kekuatan, kelemahan, dan nilai-nilai yang dimiliki dengan lebih baik. Murid dengan tingkat well-being yang optimum lebih mungkin memiliki kesehatan fisik dan mental yang lebih baik, memiliki ketangguhan (daya lenting atau resiliensi) dalam menghadapi stress, serta terlibat dalam dalam perilaku sosial yang lebih bertanggung jawab. Ketika guru dapat mengubah susasana di kelas dengan lebih positif, maka seluruh bagian yang mengambil peran di kelas pun dapat berubah. Menurut saya, tujuan akhirnya bukan untuk memperkenalkan mindfulness sebagai intervensi berbasis strategi, tetapi untuk mengubah keseluruhan suasana, gaya bicara, dan kualitas interaksi sehingga lebih kondusif untuk kesehatan dan keutuhan guru dan siswa.