Minggu, 05 Juni 2016

ULOS CITRA HIDUP SUKU BATAK


Oleh : Desmauli Lumbanbatu, S.Pd

Ketika mendengar kata ulos secara otomatis berhubungan dengan suku Batak. Ulos sudah menjadi identitas yang sangat dikenal di dalam maupun luar negri. Pandangatn suku batak hanya ada tiga sumber kehangatan (pana) bagi manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Secara logika tidak akan timbul pertanyaaan jika matahari, api menjadi sumber kehangatan, namun bagi suku lain ketika ulos dijadikan sebgai sumber kehangatan akan menimbulkan pertanyaan dalam pikiran mereka. Akan dijawab pada aliniea selanjutnya.
Secara geografis suku batan tinggal di kawasan pegunungan yang beriklim sejuk, seperti suasana kota bandung yang memiliki cuaca sejuk. Kondisi alam ini, menyebabkan panas yang dipancarkan oleh matahari tidak cukup memberikan kehangatan, terutama ketika malam hari. Kondisi alam seperti ini memaksa orang batak menciptakan sesuatu yang bisa menghangatkan tubuh selain kehangatan yang sudah ada. Dalam konteks inilah kain Ulos menjadi sumber panas yang memberikan kehangatan, baik kehangatan fisik maupun non fisik kepada orang Batak. Selain makna dari sumber kehangatan, ulos juga membetuk lelaki Batak berjiwa keras, mempunyai sifat kejantanan, dan kepalahwanan, dan perempuan mempunyai sifat ketahanan dari guna-guna kemandulan (“KajianAntropologi Batak Prof Bas,” dalam http://www.silaban.net/wp-print.php?p=1675, diaksestanggal07Januari 2016).
Awal mulanya kain ulos lahir dari pencarian orang-orang Batak yang hidup di daerah pegunungan yang dingin. Seiring berjalannya waktu, dari sekedar kain pelindung badan, ulos berkembang menjadi lambang ikatan kasih, pelengkap upacara adat, dan simbol sistem sosial masyararakat Batak. Bahkan, kain ini dipercaya mengandung kekuaran yang bersifat religius magis dan dianggap keramar serta memiliki daya isitimewa untuk memberikan perlindungan kepada pemakainya.
Ulos Citra Hidup Suku Batak
            Jenis dan motif kain ulos menggambarkan makna tersendiri. Tergantung sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan tertentu. Kapan digunakan, diberikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaaimana. Bahkan, berbagai uapcara adat seperti pernikhakan, kelahiran, kematian, dan ritual lainnya, yang lebih hebatnya semua itu tidak akan terlaksana tanpa ulos. Melihat kenyataan itu penulis berpendapat bahwa kain ulos merupakan bagian dari kehidupan orang batak.
            Ketika kain ini dipakai oleh laki-laki, bagian atasnya disebut ande-hande, sedangkan bagian bawahnya disebut singkot. Sebagai penutup kepala disebut tali-tali, bulang-bulang, sabe-sabe atau datar. Namun terkait dengan niai-nilai sakral yang melengkapi kain ulos, maka tidak semua ulos dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos Jugia, Sadum, Ragi Hotong, Ragidup, dan Runjat, hanya dapat dipakai pada waktu dan upacara tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki Batak menggunakan sarung renin bermotif kotak-kotak, tali-tali dan baju berbentuk kemeja kurung berwarna hitam, tanpa alas kakit.
            Ketika ulos dipakai oleh perempuan Batak Toba, bagian bawah disebut haen, untuk penutup punggung disebut hoba-hoba, dan bila dipakai sebagai selendang disebut ampe-ampe. Apabila digunakan sebagai penutup kepala disebut saong, dan untuk menggendong anak disebut paropa. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan batak memakai kain blacu hitam dan baju kurung panjang yang umumnya berwarna hitam, serta tutup kepala yang disebutu saong.
            Secara garis besar, ada tiga cara pemakaian ulos, yaitu: pertama, siabithononton (diapaki) antara: ragidup, sibolang, runjat, djobit, simarindjamisi, dan ragi pangko. Kedua, sihadanghononton (dililitkan di kepala atau bisa juga di jinjing. Ulos yang penggunaanya dililit di kepala atau bisa juga ditenteng di antara: sirara, sumbat, boelan, mangiring, surisuri, dan sadum. Ketiga, sitalitalihononton (dililir di pinggang). Ulos yang dililitkan di pinggang di antara: tumtuman, mangiring, dan padangrusa. Ketiga aturan pemakain disebut membawa pesan bawah menempatkan ulos pada posisi yang tepat merupakan hal yang sangat penting, tidak saja terkain dengan seresasian dalam berpakaian tetapi juga terkain dengan makna-makna filosfis yang dikadnung. Dengan kata lain, ulos tidak hanya berfungsi sebagai penghangat dan lambang kasih sayang, melainkan juga sebgai simbol status sosial, alat komunikasi, dan lambang solidaritas.
            Menyinggung ulos sebagai ekspresi kasih-sayang, maka dikenal ungkapan “mangulosi”. Dalam adat batak, mangulosi (memberikan ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Dalam hal mangulosi, ada aturan umum yang harus dipatuhi, yaitu mangulosi hanya boleh dilakukan kepada orang yang mempunyai starus kekerabatan atau sosial lebih rendah, mauslnya orang tua boleh mangulosi anaknya, tetapi sang anak tidak boleh mangulosi orang utanya.
            Demikian juga dngan ulos yang hendak digunakan untuk mangulosi harus mempertimbnagkan tujuan dari pemebrian ulos tersebut. Misalnya hendak mengulosi Boru yang akan melahirkan anak sulungnya, maka ulos yang diberikan adalah ulos ragidup sinagok. Demikian juga jika hendak mangulosi pemebsar atau tamu kehormatan yang dapat memberikan perlindungan (mangalinggomi), maka ulos yang digunakan adala Ulos Ragidup Silingo.
Makna
Kain Ulos tidaksekedarhasilkerajinan yang mempunyaitampilanindah, tetapi juga merupakanmanifestasidarinilai-nilai yang diyakiniolehmasyarakat.Dengan kata lain, denganmengetahuidanmemahaminilai-nilai yang terkandungdalamkain Ulos, makakitaakanmengetahuiapadansiapa orang Batak. Olehkarenanya, upayapelestariankain Ulos baiksecarafisikmaupunnilai-nilai yang dikandungnyaharussegeradilakukan. Atau, generasi Batak akan teralienasi karena tercerabut dari akar lokalitasnya.
Secara garis besar, ada empat nilai yang dapat kita ambil dari kain Ulos, yaitu: kearifan lokal, keyakinan, tata aturan, dan kasih sayang. Pertama, kain Ulos merupakan manifestasi dari pengetahuan lokal masyarakat Batak. Kondisi geografis alam tempatan orang Batak yang berhawa cukup dingin menyebabkan matahari dan api tidak cukup memberi kehangatan, kondisi ini telah menggugah orang-orang Batak untuk mencari dan menciptakan sumber kehangatan baru, yaitu kain Ulos. Oleh karenanya, penggunaan kapas sebagai bahan baku utama untuk membuat kain Ulos, bukan suatu kebetulan, tetapi merupakan proses panjang dari sebuah pencarian. Demikian juga pewarna kain yang dibuat dari bahan-bahan alami.
Kedua, pengetahuanlokaltersebutterusberkembangdanakhirnyamenjadifalsafahhidup orang Batak.Menurut orang Batak, adatigasumberkehangatan, yaitu: matahari, api, dan Ulos. Eksistensikain Ulossemakinkuatketikaiamenjadibagianpentingdariupacara-upacaraadat yang dilakukanoleh orang Batak. Akhirnya, kain Ulos menjadikainsakral yang menjadisimpulkeyakinan orang Batak kepadaTuhan.
Ketiga, kain Ulos sebagaisumbertertib social.Beragam Ulos dengansegenap raksa yang terkandung di dalamnya, jikadikajisecaraserius, ternyatamerupakansumberuntukmelakukantertibsosialdalammasyarakat Batak. Ulos Jugia, Ragidup, dan Ragihotang misalnya, mengandungtataaturanbagaimanahidupbermasyarakatdanbagaimanatertibsosialdijagadalammasyarakat. Mengapa UlosJugiahanyabolehdipakaiolehkakek yang telahmempunyaicucu, mengapa Ulos ragidup harusdipakaiolehtuanrumahdalamkegiatankemasyarakatan, danmengapa UlosSadum harusdijadikan alas sirihketikamenyambut raja. Dengan kata lain, keberadaanberagamjenis Ulos tersebut, merupakancaramasyarakat Batak menjagaharmonisosial.
Keempat, kain Ulos sebagaipertandakehangatan (baca: kasihsayang) orang Batak. Pemberian Ulos(mangulosi) agar orang yang diberikanterlepasdariserangandingin yang menggrogotitulangmerupakancara orang Batak mengungkapkankasihsayangnya. Denganmemberikan Ulos, makaiatelahmelindungi orang-orang yang dikasihinya.



Daftar Pustaka

1.      Ater B. Sinaga, “MaknadanartiUlosdalamMasyarakat Batak,” dalam http://ath3r.wordpress.com/makna-dan-arti-Ulos-dalam-masyarakat-batak/, diaksestanggal07 Januari 2016.
2.      BiranulAnas / Jonny Purba, “BusanaTradisional Batak,” dalamhttp://www.tamanmini.com/anjungan/sumut/budaya//busana_tradisional_batak, diaksestanggal07 Januari 2016.
3.      “KajianAntropologi Batak Prof Bas,” dalam http://www.silaban.net/wp-print.php?p=1675, diaksestanggal07 Januari 2016.
4.      “Kapan Ulos Batak MenjadiKebanggaan?” dalam http://tanobatak.wordpress.com/2007/06/30/kapan-Ulos-batak-menjadi-kebanggaan/, diaksestanggal07 Januari 2016.
5.      “MelongokProdukUlosModeren Ala Martha Ulos, dalam http://www.silaban.net/2001/04/14/melongok-produk-Ulos-moderen-la-martha-Ulos/, diaksestanggal07 Januari 2016.
6.      MonangNaipospos, “Proses PembuatanUlos di Toba,” dalam http://tanobatak.wordpress.com/2007/08/01/proses-pembuatan-Ulos-di-toba/, diaksestanggal07 Januari 2016.
7.      OloanPardede, “Mengenal Ulos Batak,” dalam http://tanobatak.wordpress.com/2008/02/18/mengenal-olos-batak/, diakses07 Januari 2016.
8.      “ProsesPembuatan Ulos di Toba,” dalam http://tanobatak.wordpress.com/2007/08/01/proses-pembuatan-Ulos-di-toba/, diaksestanggal07 Januari 2016.
9.      Richard Sinaga, 1997, LeluhurMargaMarga Batak, dalamSejarahSilsilahdanLegenda, (Jakarta: Penerbit Dian Utama)
10.  “Sejarah Batak”, dalam http://parapat0.tripod.com/sejarah.html, diaksestanggal07 Januari 2016
11.  UlosProdukEksotik”, dalam http://tanobatak.wordpress.com/2007/10/22/Ulos-produk-eksotik/, diaksestanggal07 Januari 2016.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar